Sejarah Santri Dan Pesantren



Sejarah dan Tugas Santri

“Santri” identik dengan seseorang yang tinggal di Pondok Pesantren yang kesehariannya mengkaji kitab salaf atau kitab kuning, dengan badan dibalut sarung, peci, serta pakaian ala santri menjadi embel-embel dan menambah ciri khas tersendiri bagi mereka.

Asal-usul kata “santri” sendiri berdasarkan DR. Nurcholis Majid (Cendekiawan Islam) sekurang-kurangnya ada dua pendapat yang sanggup di jadikan materi acuan. Pertama, berasal dari bahasa Sankskerta, yaitu "sastri", yang berarti orang yang melek huruf. Kedua, berasal dari bahasa Jawa, yaitu "cantrik", yang berarti seseorang yang mengikuti kyai di mana pun ia pergi dan menetap untuk menguasai suatu keahlian tersendiri.

Berbeda dengan pendapat DR. KH. M.A. Sahal Mahfudz (Rais ‘Aam PBNU dan Ketua Umum Pusat MUI) yang justru menyampaikan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata "santaro", yang memiliki jama' (plural) sanaatiir (beberapa santri). Di balik kata “santri” tersebut yang memiliki empat karakter Arab (sin, nun, ta', ra').

Adapun empat karakter tersebut yaitu :

Sin, yang bermakna dari lafadz "satrul aurah" (menutup aurat) sebagaimana layaknya kaum santri yang memiliki ciri khas dengan sarung, peci, pakaian koko, dan sandal ala kadarnya sudah barang tentu bisa masuk dalam golongan karakter sin ini, yaitu menutup aurat. Namun pengertian menutup aurat di sini memiliki dua pengertian yang keduanya saling ta'aluq atau berhubungan. Yaitu menutup aurat secara tampak oleh mata (dhahiri) dan yang tersirat atau tidak tampak (bathini).

Menutup aurat secara dhahiri gambarannya sesuai dengan citra yang telah ada berdasarkan syari'at Islam. Mulai dari pusar hingga lutut bagi laki-laki dan seluruh badan kecuali tangan dan wajah bagi wanita. Gambaran tersebut merupakan citra yang sudah tersurat dalam aturan-aturan yang sudah terang dalam syari'at. Namun satu sisi yang kaitannya dengan makna yang tersirat (bathini) terlebih dahulu kita harus mengetahui apa bekerjsama tujuan dari perintah menutup aurat.

Manusia sebagai mahluk yang mulia yang diberikan nilai lebih oleh Allah berupa nalar menimbulkan posisi insan sebagai mahluk yang tepat dibandingkan yang lain. Dengan nalar tersebutlah akan terbentuk suatu custom atau habitual yang tentu akan dibarengi dengan kebijaksanaan dan naluri, yang nantinya insan akan memiliki rasa aib jikalau dalam perjalanannya tidak sesuai dengan rel–rel yang telah di tentukan oleh agama dan habitual action atau aturan budpekerti setempat.

Yang kaitannya dengan hal ini, tujuan utama insan menutup aurat tak lain ialah menutupi kemaluan yang dianggap vital dan berharga. Andaikan insan sudah tidak sanggup lagi menutup kemaluannya yang vital dan berharga itu, berarti sudah sanggup ditanyakan kemanusiaannya antara insan dan makhluk yang lain semisal hewan.

Hal yang terpenting di sini ialah bagaimana insan menutupi dan memiliki rasa aib dalam hal sifat dan sikap secara dhahiri dan bathini. Sebagaimana disinggung dalam salah satu hadits Nabi saw. : "al-haya'u minal iman", aib sebagian dari iman. Tentunya hal ini sudah terang betapa besar pengaruhnya haya' atau aib dalam kacamata religius (agama) maupun sosial kemasyarakatan.

Nun, yang bermakna dari lafadz "na'ibul ulama" (wakil dari ulama). Dalam koridor aliran Islam dikatakan dalam suatu hadits bahwa : "al-ulama warasatul anbiya' (ulama ialah pewaris nabi). Rasul ialah pemimpin dari umat, begitu juga ulama. Peran dan fungsi ulama dalam masyarakat sama halnya dengan rasul, sebagai pengayom atau pelayan umat dalam segala dimensi. Tentunya di harapkan seorang ulama memiliki kepekaan-kepekaan sosial yang tahu atas problematika dan perkembangan serta tuntutan zaman akhir arus globalisasi dan modernisasi, serta sanggup menyelesaikannya dengan arif dan bijak atas apa yang terjadi dalam masyarakatnya.


Kaitannya dengan na'ibul ulama, seorang santri di tuntut bisa aktif, merespon, sekaligus mengikuti perkembangan masyarakat yang diaktualisasikan dalam bentuk sikap dan sikap yang bijak. Minimal dalam masyarakat kecil yang ada dalam pesantren. Sebagaimana yang kita tahu, pesantren merupakan sub-kultur dari masyarakat yang majemuk. Dan dengan didukung potensi yang dimiliki kaum santri itulah yang berfungsi sebagai modal dasar untuk menunjukkan suatu perubahan yang positif sesuai dengan yang diharapkan Islam.

Ta', yang bermakna dari lafadz "tarkul ma'ashi" (meninggalkan kemaksiatan). Dengan dasar yang dimiliki kaum santri, khususnya dalam mempelajari syari'at, kaum santri diharapkan bisa memegang prinsip sekaligus konsisten terhadap pendirian dan nilai-nilai aliran Islam serta aturan budpekerti yang berlaku di masyarakatnya selagi tidak keluar dari jalur syari'at.
Kaitannya hal tersebut yaitu seberapa jauh kaum santri mengaplikasikan apa yang telah mereka dapatkan dan sejauh mana pula ia memegang kekerabatan hablun minallah (hubungan vertikal dengan sang Khaliq) dan hablun minannas (hubungan horizontal dengan sosial masyarakat). Karena tarkul ma'ashi tidak hanya meliputi pelanggaran-pelanggaran aturan yang telah ditetapkan-Nya, tetapi juga kekerabatan sosial dengan sesama makhluk, baik insan ataupun yang lain.

Ra', yang maknanya dari lafadz "raisul ummah" (pemimpin umat). Manusia selain diberi kehormatan oleh Allah sebagai makhluk yang paling tepat dibanding yang lain. Manusia juga diangkat sebagai khalifatullah di atas bumi ini. Sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya "inni ja'ilun fil ardhi khalifah" (QS. Al-Baqarah : 30), yang artinya "Sesungguhnya Aku ciptakan di muka bumi ini seorang pemimpin."

Kemuliaan insan itu ditandai dengan pemberian-Nya yang sangat memiliki makna untuk menguasai dan mengatur apa saja di alam ini, khususnya umat manusia. Selain itu pula peranan khalifah memiliki fungsi ganda. Pertama, ibadatullah (beribadah kepada Allah) baik secara individual maupun sosial, dimana sebagai makhluk sosial dalam komunitas berbangsa, umat Islam juga dituntut menunjukkan manfaat kepada orang lain dalam kerangka ibadah sosial. Kedua, 'imaratul ardhi, yaitu membangun bumi dalam arti mengelola, mengembangkan, dan melestarikan semua yang ada. Jika hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan insan itu hukumnya wajib. Maka melestarikan, mengembangkan, serta mengelola pun hukumnya wajib. Sebagaimana di jelaskan dalam salah satu kaidah fiqih; "ma la yatimu bi hi wajib fahuwa wajibun", sesuatu yang menimbulkan kewajiban maka hukumnya pun wajib.

Gambaran di atas merupakan suatu tugas serta tanggung jawab seorang santri, dalam hal pengembangan sosial masyarakat. Di situlah diharapkan suatu mentalitas religius serta totalitas kesadaran, alasannya ialah kaum santri-lah yang sanggup dijadikan impian dalam mengembalikan konsep-konsep aliran Islam. Sebab, secara tidak pribadi santri ialah generasi penerus usaha para ulama sekaligus pewaris para Nabi dalam mensyi’arkan dan meneruskan ajaran-ajaran Islam, baik dengan dakwah bil verbal (dengan ucapan/ceramah), dakwah bil kitabah (dengan karya/tulisan) maupun dakwah bil hal (dengan akhlak/perilaku). Maka, sudah seharusnya para santri sanggup merealisasikan ilmu-ilmu yang didapat dari pesantren yang pernah disinggahinya. 

Sejarah dan Fungsi Pesantren

Pesantren ialah sebuah pemondokan atau tempat tinggal bagi para santri. Dalam sejarah Nabi saw. bekerjsama sudah ada kumpulan santri atau pencari ilmu yang tinggal di Masjid Nabawi. Mereka berdatangan dari aneka macam tempat dari dalam maupun luar Madinah. Sebagian besar dari para sahabat tersebut rela tiba ke Madinah untuk mendengarkan dan mempelajari aliran baru, yaitu aliran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. Diantara mereka ada yang sambil bekerja dan ada juga yang dijatah oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Sahabat Abu Hurairah ra. ialah satu dari sekian banyak sahabat Nabi saw. yang pernah nyantri di Masjid Nabawi dibawah bimbingan pribadi Rasulullah saw.

Adapun tradisi pesantren di Indonesia berdasarkan sebagian jago sejarah Islam dimulai oleh Sunan Ampel. Sunan Ampel mendirikan pemondokan berupa kamar-kamar bagi para santri. Dan Sunan Giri ialah satu diantara sekian banyak santri yang pernah mondok di pesantren asuhan Sunan Ampel.

Seiring berkembangnya zaman dan merebaknya teknologi modern, keberadaan pesantren semakin ditinggalkan. Padahal dari pesantren-lah muncul generasi-generasi muda Islam sebagai calon-calon ulama dan penyebar syari’at Islam di tengah-tengah masyarakat. Menurut saya, ada pergeseran pandangan masyarakat kini ini, mereka berpandangan bahwa mencari ilmu bisa didapat dari kitab-kitab terjemah ataupun lewat media internet. Pandangan mereka diperparah dengan ambisi dunia atau penguatan ekonomi dibanding mencari ilmu di Pesantren.

Hal inilah yang menimbulkan generasi Islam masa depan menjadi semakin suram. Dan akhir dari pergeseran pandangan masyarakat perihal pesantren itulah yang menimbulkan timbulnya beragam kasus di kalangan sampaumur dan pemuda. Maka, pandangan masyarakat yang menyampaikan “Kalau anak saya mondok, nanti mau kerja apa” ialah salah besar dan perlu diluruskan. Karena, pesantren bukan tempat mendidik mencari kerja atau memudahkan menerima pekerjaan. Pesantren ialah ladang atau tempat mendidik kemandirian dalam hidup dan tempat mencetak generasi Islam yang berilmu dan berakhlak mulia. Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa yang menginginkan kebahagian dunia hendaklah dengan ilmu, barangsiapa yang menginginkan kebahagiaan alam abadi hendaklah dengan ilmu dan barangsiapa menginginkan kebahagiaan dunia dan alam abadi hendaklah dengan ilmu”. Jadi, sudah terang bahwa pesantren merupakan sarana dalam meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Disusun Oleh Saifurroyya Dari Berbagai Sumber     

Comments

Popular posts from this blog

Kh. Ahmad Badawi (Mbah Badawi Kaliwungu)

Kesederhanaan Habib Toha Al-Munawwar Semarang

Pondok Pesantren Ta’Limul Qur’An Al-Asror (Pptq Al- Asror)