Bencana Ini Berjulukan Banjir


Banjir

Air, salah satu makhluk Allah yang menguasai bumi atau dengan kata lain, volume dan keberadaannya melebihi daratan. Akhir-akhir ini semua orang di hampir semua tempat di Indonesia dari mulai Jakarta hingga sepanjang jalan Pantura sedang dilanda petaka atau tragedi yang bermuara pada makhluk Allah yang berjulukan air.
Air yaitu sumber kehidupan bagi seluruh makhluk di bumi ini, tak terkecuali bagi manusia. Manusia hidup sangat bergantung pada adanya air, bahkan badan insan akan lemah lunglai bila kekurangan air. Namun, air juga makhluk Allah yang sangat patuh pada perintah penciptanya. Saat Allah menurunkan air (hujan) dengan kasih sayang-Nya, maka hujan itu yaitu rahmat dari-Nya. Sebaliknya, jikalau hujan itu turun sebagai ujian ataupun peringatan, maka hujan itu yaitu laknat dari-Nya.
Bencana tidak mengenal waktu dan tempat. Air akan masuk ke semua tempat tanpa permisi, menerjang apa yang ia terjang dan merusak dikala ia lewat. Banjir dimana-mana, kemacetan panjang di setiap kota dan laju harga pun ikut terbawa. Apa ini sekedar ujian dari-Nya ataukah peringatan dari-Nya?
Fenomena banjir di beberapa tempat sangat menarik untuk dikaji dan direnungkan oleh aneka macam pihak. Kesalahan dan perbuatan dosa apa yang kita semua lakukan hingga Allah menurunkan aneka macam bentuk bencana. Apa kita semua tidak sadar bahwa selama ini kita terlalu mementingkan kepentingan langsung dan golongan kita sendiri. Apa kita semua tidak sadar bahwa kemaksiatan, saling caci maki di media, pengkhianatan amanah (koruptor) semakin merajalela dan dosa-dosa semakin biasa dilakukan tanpa rasa aib pada diri sendiri, orang lain maupun Rabb-nya.
Sebagai flashback, dulu dikala saya masih seusia remaja, saya masih mencicipi dan melihat betapa rukun dan indahnya kebersamaan antar masyarakat serta ramainya kegiatan-kegiatan di Musholla maupun Masjid. Mereka berbondong-bondong meramaikan acara yang bernuansa Islami dan bahu-membahu mencicipi suka dan murung dalam bermasyarakat. Saya masih ingat ketika saya dengan senangnya bermain-main dengan teman sebaya sesudah mengaji di rumah seorang Ustadz dan lebih bahagia lagi dikala melafalkan bait-bait sholawat Nabi setiap malam Jum’at di Musholla.
Namun, seiring waktu berjalan, tradisi dan acara yang bernuansa Islami semakin ditinggalkan. Kalau dulu sehabis shalat Maghrib belum dewasa berkumpul di tempat ngaji, kini berkumpul di depan tv. Kalau dulu para perjaka semangat mengajar ngaji dan menjadi panitia acara Islami, kini lebih nyaman kongkow dan berada di tempat sepi. Kalau dulu orang-orang rajin berkumpul di Masjid dan Musholla, kini lebih yummy ngurus diri sendiri, anak dan istrinya. Kalau dulu para pemimpin memikirkan hak-hak rakyatnya, kini lebih memikirkan pribadi, kolega dan parpolnya.
Hal inilah, yang mungkin penggalan dari teguran Allah swt. dalam firman-Nya, “Telah nampak kerusakan di darat dan di bahari disebabkan lantaran perbuatan tangan manusia, supaya Allah mencicipi kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum : 41). Jadi, jelaslah apa yang difirmankan Allah itu perihal keadaan dan perbuatan insan selama ini yaitu sudah sangat melampaui batas. Hutan dibabat untuk kepentingan bisnis semata tanpa memikirkan kelestariannya dan tanpa memikirkan jalur perembesan airnya. Kemungkaran, kemaksiatan dan kedurhakaan kepada Tuhan terus dilakukan tanpa ada lagi rasa aib kepada-Nya sebagai penciptanya.

 
Banjir di Jalur Pantura

Maka, dengan adanya aneka macam petaka dan tragedi kini ini, sudah selayaknya kita semua saling instropeksi diri dan memperbaiki diri. Atas nama apapun tragedi ini, baik berupa ujian maupun peringatan dari-Nya. Semua itu harus disikapi dengan bijak dan nalar yang sadar. Bencana tidak akan muncul kalau kita dapat hidup tidak merusak makhluk hidup yang lain yang ada di bumi ini dan tragedi tidak akan terjadi kalau kita hidup selalu ingat dan patuh pada yang Maha Hidup.
Mudah-mudahan, dengan terjadinya tragedi akhir-akhir ini, akan menjadi tadzkirah (peringatan) bagi kita semua bahwa bumi ini bukan milik kita, kita hanya dipinjami sarana untuk ta’abbud (ibadah) kepada-Nya dan akan menuai hasil di darul abadi kelak.  Maka, sudah menjadi kewajiban kita untuk melestarikan dan menghargai semua makhluk yang ada didalam pinjaman-Nya serta  patuh kepada yang mempunyai proteksi tersebut, yaitu Allah Rabbul ‘Alamin.

al-Faqier ila Rahmati Rabbih
Saifurroyya
06-02-14, Kaliwungu Kota Santri
                 

Comments

Popular posts from this blog

Kh. Ahmad Badawi (Mbah Badawi Kaliwungu)

Kesederhanaan Habib Toha Al-Munawwar Semarang

Pondok Pesantren Ta’Limul Qur’An Al-Asror (Pptq Al- Asror)