Sebutan “ Kyai ” Di Kala Modern


Kyai Sepuh

Kyai, sebuah titel yang tidak ajaib bagi masyarakat Islam Indonesia umumnya dan masyarakat Jawa pada khususnya. Dahulu, sebutan kyai biasanya disemakkan pada orang yang dikenal paham dan mengerti aliran agama (syari’ah Islam) secara menyeluruh. Namun, seiring berjalannya waktu sebutan itu semakin berkembang ranah posisinya, tidak hanya disemakkan pada orang yang paham dan mengerti aliran agama saja, bahkan (maaf) orang yang hanya arif berpidato (ngomong) ihwal agama tanpa paham dan mengerti aliran agama sudah dikenal dengan sebutan “kyai”.
Di bilang ironis tidak juga, toh mereka yang hanya arif pidato (mubaligh) ihwal agama tanpa menguasai ilmunya mungkin sanggup memperlihatkan manfaat bagi pendengarnya. Yang perlu disayangkan ialah dikala sang mubaligh tersebut tidak mau mencar ilmu atau mencari lagi ilmu-ilmu agama yang belum ia kuasai dan kadang diperparah lagi dengan penguasaan akhlaqul karimah yang masih sedikit/minim.
Sebelum saya menjelaskan panjang lebar ihwal kaitan sebutan kyai dan akhlaqul karimah. Saya akan membedah sedikit ihwal asal sebutan “kyai” yang berkembang di Indonesia. Saya pernah mendengar dari alm. KH. Cholil Bisri (kakak Gus Mus), bahwa kata “kyai” berasal dari bahasa China yaitu “kiya-kiya” yang berarti orang yang mulia atau dimuliakan. Dulu, sebutan seorang “kyai” yang disemakkan kepada orang yang paham dan mengerti agama, memang benar-benar sesuai dengan sebutannya. Karena kyai-kyai dulu, disamping paham dan mengerti syari’ah Islam juga banyak yang wira’i dan berakhlaqul karimah. Jadi, tidak tidak mungkin bila kyai-kyai dulu populer ampuh dan mustajab do’anya. Seiring perjalanan waktu, sebutan kyai dalam masyarakat pun mulai meluas, diantaranya:
1.) ada orang yang disebut kyai alasannya bapaknya seorang kyai (kyai keturunan)
2.) ada orang yang arif berpidato (kyai mubaligh)
3.) ada orang yang pandai mengobati orang dengan amalan-amalan atau hizb (kyai tabib)
4.) ada orang yang ditunjuk untuk memimpin tahlil atau do’a di kampungnya (kyai sepuh)
dan lain sebagainya.
Semua sebutan tersebut tidaklah salah dan tidaklah mengurangi kekharismaan sebutan “kyai”. Namun, yang perlu diperhatikan ialah seyogyanya (sebaiknya) orang-orang yang terlanjur disebut atau didapuk dengan sebutan “kyai” harus instropeksi diri dan mau mencar ilmu kembali untuk mendalami ilmu-ilmu agama yang merasa belum dikuasainya serta menjaga sikap yang sesuai dengan akhlaqul karimah.
Karena, mereka semua ialah publik figur atau tokoh di kalangannya masing-masing. Dan yang lebih penting lagi, mereka ialah suri tauladan bagi kaumnya. Jadi, bila mereka mau mencar ilmu kembali dan menata hati dan akhlaqnya, niscaya sebutan “kyai” yang disandangnya, bukan hanya sekedar titel sosial yang dimilikinya, namun akan menjadi pola dan suri tauladan yang baik bagi masyarakatnya.
Wallahu A’lamu bi Muradihi…

al-Faqier Ila Rahmati Rabbih
Saifurroyya
31-10-13, Kaliwungu Kota Santri              

Comments

Popular posts from this blog

Kh. Ahmad Badawi (Mbah Badawi Kaliwungu)

Kesederhanaan Habib Toha Al-Munawwar Semarang

Pondok Pesantren Ta’Limul Qur’An Al-Asror (Pptq Al- Asror)